Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan
bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia.
Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih
tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten
Mamasa.[1]
Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen,
sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang
dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui
kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja
berasal dari bahasa Bugis,
to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah
kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3]
Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan
ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang
penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa
hari.
Sebelum
abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut
animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an,
misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen.
Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana
Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan
oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4]
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat
berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas
beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata
yang terus meningkat.[5]
Kebudayaan
Tongkonan
Tiga tongkonan
di desa Toraja.
Tongkonan adalah
rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan
ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal
dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena
itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan
hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja,
tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku
Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang
besar.[20]
Pembangunan
tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan
bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat
kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan".
Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang
tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas
tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari
pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh
cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar